Senin, 13 Mei 2019

PENGEMBANGAN KECERDASAN SPIRITUAL PADA ANAK USIA DINI MELALUI MUROTTAL BACAAN AL’QURAN


NURYATI
PG PAUD STKIP SITUS BANTEN
Jln. Bhayangkara Cipocok Jaya Serang - Banten Telp. (0254) 220193



Abstrak: penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengembangan kecerdasan spiritual pada anak usia dini melalui metode pembiasaan murottal bacaan Al-Quran di RA Nurul Ikhlas Taktakan Serang. Peran guru dalam mengembangkan kecerdasan spiritual pada kegiatan pembelajaran, serta peran orang tua dan masyarakat.   Penelitian ini merupakan penelitian kualaitatif fenomenologi pada kelompok B di RA Nurul Ikhlas Legok Widara Taktakan Serang tahun 2017. Teknik analisis data menggunakan model Miles dan Huberman terdirii dari:  reduksi data, display data, dan verifikasi. Teknik  pengumpulan data adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia dini kecerdasan spiritual pada anak usia dini sangat kurang baik, dimana orang tua dan masyarakat lebih menekankan kecerdasan intelektualnya saja. Hal ini dapat terlihat dengan adanya pergeseran nilai moral anak terhadap orang tua. Peran guru dalam mengembangkan kecerdasan spiritual pada anak usia dini dapat dilakukan melalui pembiasaan murottal bacaan Al-quran yang diputar setiap pagi sebelum kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Kata kunci: pengembangan, kecerdasan spiritual anak usia dini, murottal bacaan Al-quran.


PENDAHULUAN
Setiap orang tua mengharapkan anaknya cerdas. Baik secara intelektual, emosional dan spiritualnya. Namun untuk mendapatkan semua itu tidaklah mudah. Anak-anak dilahirkan dengan kecerdasan spiritual yang tinggi, tetapi perlakuan orangtua dan lingkungan yang menyebabkan mereka kehilangan potensi spiritual tersebut. Padahal pengembangan kecerdasan spiritual sejak dini akan memberi dasar bagi terbentuknya kecerdasan intelektual dan emosional pada usia selanjutnya. Krisis akhlak yang menimpa Indonesia berawal dari lemahnya penanaman nilai terhadap anak pada usia dini. Pembentukan akhlak terkait erat dengan kecerdasan emosi, sementara itu kecerdasan emosi tidak akan berarti tanpa ditopangi oleh kecerdasan spiritual. Prasekolah atau usia balita adalah awal yang paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai kepada anak. Namun, yang terjadi sebaliknya. Anak lebih banyak dipaksa untuk mengekplorasi bentuk kecerdasan yang lain, khususnya kecerdasan intelektual, sehingga anak sejak awal sudah ditekankan untuk selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik, sehingga menyebakan tercerabutnya kepekaan anak.
Sementara itu lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat kurang memberikan dukungan terhadap penumbuhan kecerdasan spiritual pada anak. Di lingkungan keluarga anak lebih banyak berinteraksi dengan sesuatu yang justru menyebabkan semakin jauhnya kepekaan anak, bahkan yang lebih parah lagi apabila proses dehumanisasi itu terjadi justru di tengah lingkungan keluarga. Keluarga sebagai tempat pendidikan yang utama malahan kering dari aspek pedagogis.
Hasil pengamatan dan wawancara dengan guru di RA Nurul Ikhlas Kelurahan Drangong Legok Widara Taktakan Serang, diperoleh data bahwa anak memiliki kecerdasan spiritual yang sangat rendah, hal tersebut disebabkan oleh  tuntutan masyarakat agar anak bisa calistung. Anggapan masyarakat anak yang pintar adalah anak yang bisa membaca, menulis dan berhitung degan cepat. Dengan kata lain Pintar Calistung. Mereka lebih menekankan kecerdasan intelektualnya tanpa ditopangi dengan kecerdasan spiritual.
Penelitian sebelumnya adalah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual melalui tabungan hadis. Penelitian tersebut dilakukan oleh Nuryati pada tahun 2016 menyatakan bahwa kecerdasan spiritual sangat penting diterapkan pada anak usia dini yaitu melalui tabungan hadis. Yaitu berupa setoran hafalan hadis yang dilakukan setiap hari pada anak. Dalam penelitian tersebut anak tidak hanya menghafal hadis akan tetapi juga memahami arti yang terkandung dalam hadis tersebut serta mengaplikasikannya dalam kehidupan anak. Tabungan hadis merupakan suatu program yang menjadi strategi guru dalam menanamkan dan mengembangkan kecerdasan spiritual yang berupa setoran hafalan hadis. Melalui program ini terlihat dampak yang positif terhadap perilaku anak, seperti halnya dalam menyikapi suatu persoalan hidup yang dihadapinya.

KECERDASAN SPIRITUAL        
            Menurut Howard Gardner kecerdasan merupakan ungkapan dari cara berpikir seseorang yang dapat dijadikan modalitas belajar, hampir semua orang cenderung pada salah satu modalitas belajar yang berperan sebagai saringan untuk pembelajaran, pemrosesan dan komunikasi; sedangkan  Markova meyakini bahwa orang tidak hanya cenderung pada satu modalitas, mereka juga memanfaatkan kombinasi modalitas tertentu yang memberi mereka bakat dan kekurangan alami tertentu.[1] Adapun modalitas yang dimiliki oleh setiap individu dapat dibagi menjadi tiga yaitu modalitas visual, auditorial, dan kinestetikal. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda, ada yang cenderung memiliki satu modalitas ada juga yang mengombinasikan modalitas tersebut. Dalam artian bukan faktor kesengajaan, namun memang bakat atau potensi yang dimiliki oleh setiap orang berbeda.
            Sejalan dengan itu Sukidi menyatakan, “Kecerdasan spiritual tak hanya dimiliki oleh manusia dewasa tapi juga oleh anak-anak. Sederet penelitian telah menyimpulkan bahwa potensi dan bakat kecerdasan spiritual justru dimiliki anak sejak usia dini”.[2]Kecerdasan spiritual dapat dikembangkan baik di rumah maupun di sekolah maupun di lingkungan sekitar anak.
            Definisi kecerdasan lain adalah definisi kecerdasan dari Piaget, Menurut William H. Calvin, dalam bukunya How Brain Thinks (Bagaimana otak berfikir?), Piaget mengatakan, “Intelligence is what you use when you don’t know what to do” (Kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat kita tidak tahu apa yang harus dilakukan).” Sehingga menurut Calvin, seseorang itu dikatakan smart jika ia terampil dalam menemukan jawaban yang benar untuk masalah pilihan hidup. Sedang menurut Sternberg, 65 tahun setelah simposium Journal Psikologi Pertama, 24 orang ahli diminta untuk mengajukan definisi kecerdasan, mereka mengaitkan kecerdasan tersebut dengan tema belajar dari pengalaman dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan.
  
ANAK USIA DINI
            Anak merupakan amanah Allah SWT, yang harus dijaga dan dibina. Hatinya yang suci merupakan permata yang sangat harganya.Ia membutuhkan pemeliharaan, penjagaan, kasih sayang, dan perhatian.[3] Oleh karena itu orang tua memegang faktor kunci yang bisa menjadikan tumbuh dengan jiwa islami.
            Anak merupakan mahluk individu yang sejak lahir telah membawa berbagai potensi (fisik, psikososial, bahasa, intelligensi), seluruh potensi yang dimiliki anak tersebut baru akan berkembang apabila mendapat pengaruh dari lingkungan dimana anak itu berada. Ditinjau dari sudut religius anak merupakan makhluk Allah yang perlu ditumbuhkembangkan atau dididik.[4]Anak diharapkan akan mampu menjalankan fungsinya sebagai makhluk Allah yang memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya dalam melakukan berbagai kegiatan sebagai khalifah di muka bumi.
            Anak sebagai amanah atau titipan Allah SWT yang harus dikembangkan potensi-potensi dan kecerdasannya.Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang masih harus dikembangkan. Anak memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa, mereka selalu aktif, dinamis, antusias dan ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan, mereka seolah-olah tak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar. Anak bersifat egosentris, memiliki rasa ingin tahu secara alamiah, merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan fantasi, memiliki daya perhatian yang pendek, dan merupakan masa yang paling potensial untuk belajar.
            Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang mengalami masa perkembangan. M Ramli mengatakan bahwa anak usia dini ialah anak yang berada pada rentang masa usia lahir sampai usia 8 tahun.[5] Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan pendidikan anak usia dini (PAUD), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) menyiratkan bahwa anak usia dini ialah anak yang berada pada rentang masa usia lahir sampai usia 6 tahun.[6]  Jadi secara teoritik anak usia dini berada pada rentang usia 0 sampai 8 tahun. Namun bila ditinjau dari kebijakan pemerintah, anak usia dini berada pada rentang usia 0 sampai 6 tahun.
            Menurut Ibnu Katsir mengemukakan bahwa seorang anak akan menjadi penyejuk hati jika dia tumbuh menjadi anak yang taat kepada Allah SWT, tekun beribadah, menjalankan perintah-perintah Allah SWT, dan Rasul-Nya, manjauhi segala larangan-Nya. Inilah menjadi tantangan para orangtua dalam membesarkan dan mendidik anak agar menjadi pribadi yang taqwa dalam beribadah dan cerdas menjalankan kehidupan.[7] Hal yang perlu kita sadari adalah bahwa setiap individu adalah unik.
            Tholhah Hasan mengatakan, anak itu merupakan amanat bagi kedua orangtuanya, dan hatinya yang bersih merupakan permata mahal, yang masih polos dan belum tersentuh goresan dan lukisan apapun, masih dapat menerima pahatan apa saja, dan siap mengikuti pengaruh apapun yang disuguhkan kepadanya. Jika anak itu dibiasakan pada hal-hal yang baik dan diajarinya, maka ia akan tumbuh dan berkembang di atas kebaikan tersebut, dan ia akan bahagia di dunia dan akhirat. Orangtuanya, gurunya dan pengasuhnya akan bersama-sama memperoleh pahalanya. Sebaliknya apabila anak tersebut dibiasakan pada hal-hal yang buruk, dan dibiarkan liar seperti binatang ia akan celaka dan rusak dalam hidupnya, dosanya juga akan dipikul oleh orang-orang yang bertanggung jawab dan mengurusinya”.[8]
            Kesimpulan di atas menjelaskan bahwa betapa pentingnya pendidikan bagi anak, dan pentingnya juga mendidik anak dalam hal-hal yang baik sehingga menjadikan anak tersebut tumbuh dan berkembang di atas kebaikan.
KECERDASAN SPIRITUAL
            Kecerdasan Spiritual yang sebelumnya dikenalkan oleh Donah Zohar dan Ian Marshal pada awal tahun 2000 sebenarnya kecerdasan spiritual sudah dikenal sejak peradaban Islam ada di muka bumi ini. Sedangkan menurut Seto Mulyadi, kecerdasan spiritual adalah bagaimana manusia dapat berhubungan dengan Sang Pencipta (Ummi, edisi 4 2002). Dengan kata lain kecerdasan spiritual adalah kemampuan menusia untuk mengenali potensi fitrah dalam dirinya serta kemampuan seseorang mengenali tuhannya yang telah menciptakannya, sehingga di manapun berada merasa dalam pengawasan Tuhannya.
            Saat ini, kita kesulitan mencari sosok manusia seperti yang pernah ditemui Umar Bin Khattab dimasa pemerintahannya. Ketika itu Umar meminta kepada seorang anak untuk menjual seekor kambing kepada Umar. Tetapi apa yang terjadi, walaupun sang pemilik kambing itu tidak mengetahui, pemuda tadi berkeberatan untuk menjual salah satu kambingnya. Dan yang menarik adalah dialaog antara Umar dengan pemuda tersebut ketika Umar terus mendesak bahwa sang majikan tidak melihatnya. Apa kata sang remaja? Dimana Allah? Sebuah jawaban yang menggetarkan hati Umar. Remaja seperti ini sangat sulit kita temukan dimasa kini. Sosok remaja dimasa Umar bukanlah sosok yang hadir begitu saja di tengah kita, tetapi memerlukan proses pembentukan. Dan usia dinilah usia emas untuk pembentukan akhlak tersebut. Orangtua dan lembaga pendidikan adalah tempat yang dapat menciptakan terciptanya anak yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi yang akan memberi dasar bagi terciptanya generasi yang memiliki akhlak yang mulia.
            Arief Rachman menggambarkan bahwa kecerdasan spiritual adalah pertama, kecerdasan yang meyakini Tuhan sebagai Penguasa, Penentu, Pelindung, Pemaaf dan kita percaya atas Kehadiran-Nya. Selain itu harus ada pula kemampuan untuk bekerja keras, kemampuan untuk mencari ridho Allah, kemampuan untuk melakukan ibadah secara disiplin, kesabaran, tahan dengan ujian dan kemampuan untuk menerima segala keputusan yang telah ditetapkan Allah. Cerdas tidaknya anak pada sisi spiritual tergantung orangtua dan keluarga sebagai tempat belajar pertama, sekolah dan lingkungan sebagai tempat belajar kedua. Apabila lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah kurang memperhatikan aspek spiritual maka dengan sendirinya sulit kita temukan anak yang memiliki kecerdasan spirtual. Tingkatan spiritual pada diri seseorang dapat berbeda-beda tergantung bagaimana pendekatan yang digunakan kepada anak.
PERTAMA tingkatan spiritual yang hidup. Untuk mendapatkan tingkatan kecerdasan spiritual ini anak harus diajarkan mengenal Tuhannya, mengenal penciptanya melalui ciptaan-Nya. Hal-hal yang membuat anak terpesona kita bingkai dengan koridor mengenal Allah sebagai pencipta. Apabila anak sejak dini dikenalkan kepada Sang Penciptannya, Melalui pembiasaan dengan mendengarkan serta memberikan pemahaman tentang kandungan isi Al-Quran pada anak, maka secara perlahan kematangan spiritual akan tertanam pada diri anak.
KEDUA, tingkatan spiritual yang sehat. Untuk mendapatakan tingkatan kecerdasan spiritual ini orangtua harus mengajarkan anak untuk melakukan komunikasi yang baik dengan pencipta, yaitu dengan melatih mengerjakan ibadah-ibadah wajib sejak usia dini, membiasakan diri untuk selalu mengingat nama-Nya dalam setiap kejadian yang ditemuinya. Misalnya kebiasaan mengucapkan bismillah ketika akan beraktifitas, mengucapkan Insya Allah ketika sedang berjanji dengan orang lain.
KETIGA, tingkatan bahagia secara spiritual. Untuk mendapatkan ini anak sejak dini dilatih untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai tambahan, merutinkan mengdengarkan dan membaca Al Qur’an, untuk anak usia dini, mereka dikenalkan dengan mengaji iqro, surah pendek dan doa-doa harian.
KEEMPAT, damai secara spiritual, bentuk kecerdasan tingkatan ini dapat dilatih dengan mengajarkan kepada anak bahwa bentuk kecintaan yang ada di dunia ini tidak melebihi terhadap bentuk kecintaannya terhadap Allah sebagai Penciptannya. Hal ini guru memberikan pemahaman dari salah satu kandungan surah pendek yang ada di dalam Al-Quran. Jadi anak tidak hanya mendengarkan saja, tetapi guru selalu berusaha untuk mengintegrasikan isi kandungan Al-Quran dalam pembelajaran.
Kelima, arif secara spiritual. Pada tingkatan ini seseorang akan membingkai segala aktivitasnya adalah sebagai bagian dari ibadah kepada Allah, sehingga segalanya memiliki makna. Sebagai contoh adalah surah Al-Ikhlas. Makna yang terkandung dalam ayat 1 adalah “Dia-lah Allah, yang maha esa.  Guru memberikan pemahaman kepada anak bahwa Allah itu satu, dan dikemas dalam metode bercerita.
Berdasarkan penelitian, melalui murottal bacaan Al-Quran yang didengar anak setiap hari atau melalui pembiasaan, anak yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, rasa ingin tahunya semakin besar, sehingga memiliki dorongan untuk selalu belajar serta memiliki kreativitas yang tinggi pula. Kecerdasan spiritual dapat ditumbuhkan pada anak dengan cara membersihkan hatinya lebih dahulu. Dengan hati yang bersih maka aktivitas yang lainnya akan menjadi lebih mudah.
            Mendengarkan murottal setiap hari, anak dapat merasakan ketenangan dalam jiwanya, membiasakan anak mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran merupakan suatu hal yang sangat penting. Pembiasaan merupakan cara yang sangat efektif untuk anak usia dini. Jika semuanya sudah biasa maka anak akan bisa. Kecerdasan spiritualnya akan tertanam disanubari mereka, apalagi guru selalu mengajarkan dan mengenalkan Tuhannya, melalui ciptaan-Nya.
Kelima, membawa anak kepada orang yang menderita, kematian. Mengunjungi orang yang menderita akan membuat anak peka terhadap sesama sehingga mendorong anak untuk berbuat baik terhadap orang lain.

Murottal
            Murottal adalah membaca al Qur’an yang menfokuskan pada dua hal yaitu kebenaran bacaan dan lagu al Qur’an. Karena konsentrasi bacaan difokuskan pada penerapan tajwid sekaligus lagu, maka porsi lagu qur’an tidak dibawakan sepenuhnya. Hanya pada nada asli dengan tingkat suara sedang. Secara bahasa antara  Mujawwad  dan Murottal tidak ada perbedaan Mujawwad berarti membaca Alqur’an dengan memperhatikan Ilmu Tajwid, sedangkan Murattal membaca Alqur’an dengan Tartil (Tenang tanpa tergesa-gesa) dengan memperhatikan ilmu tajwid dan makharijul huruf, tetapi dalam Ilmu nagham (ilmu lagu al Qur’an) kedua bacaan tersebut berbeda. Dalam penelitian ini kami menggunakan istilah Murottal karena menyesuaikan dengan perkembangan anak. Dimana anak usia dini memiliki pemahaman dan daya nalar anak masih terbatas.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi, yaitu Penelitian ini mengacu pada paradigma alamiah yang bersumber pada pandangan fenomenologi. Putra dan Lestari (2012:193) mengungkapkan fenomenologi adalah penelitian kualitatif yang mencoba mengungkapkan makna yang dihayati subjek yang diteliti. Dengan demikian penelitian ini mengacu pada gejala-gejala yang menempatkan diri dimana peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya dalam situasi tertentu yang berhubungan dengan kondisi atau keadaan sebuah lingkungan belajar yang dapat memberikan makna mengenai Pengembangan kecerdasan spiritual pada anak usia dini melalalui metode pembiasaan Murottal bacaan Al-Quran di RA Nurul Ikhlas Taktakan Serang. teknik pengumpulkan data yaitu dengan observasi, wawancara serta dokumentasi.
Subjek penelitiannya adalah anak Kelompok B. di RA Nurul Ikhlas Taktakan Serang Banten. Prosedur penelitian ini secara garis besar dilakukan melalui empat tahapan kegiatan, yaitu tahap pra-lapangan, pelaksanaan, analisis data, dan diakhiri dengan penulisan laporan, seperti yang diungkapkan Moleong (2010:127) bahwa penelitian kualitatif terdiri dari tahap pra-penelitian dan tahap pekerjaan lapangan. Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan analisis data model Miles and Huberman, yaitu reduksi data, display data, verifikasi data.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari pengamatan yang telah dilakukan maka didapat hasil dan temuan penelitian sebagai berikut  di RA Nurul Ikhlas Taktakan Serang Banten adalah salah satu sekolah yang dalam pembelajarannya menanamkan nilai-nilai agama dan moral melalui murottal bacaan Al-Quran dalam mengembangkan kecerdasan spiritual. Dari hasil wawancara dengan kepala sekolah RA Nurul Ikhlas membiasakan anak dengan mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran melalui mutottal yang diputar setiap pagi sebelum pembelajaran berlangsung. Pengembangan kecerdasan spiritual kepada anak secara implisit artinya pemberian pemahaman tentang kandungan isi Al-Quran tersebut dimasukkan kedalam pembelajaran. Kecerdasan yang paling ditekankan di RA Nurul Ikhlas Taktakan Serang Banten adalah kecerdasan spiritual. Hal ini dikarenakan RA Nurul Ikhlas Taktakan Serang Banten memiliki tujuan yakni mengenalkan tentang Allah sedini mungkin kepada anak. hal ini sesuai dengan visi misi sekolah yakni menciptakan manusia yang bertaqwa, berakhlakul karimah, rajin beribadah, cinta Al-Quran, cerdas, tampil dan berkepribadian muslim serta mampu menyiapkan diri dalam kehidupan selanjutnya.

pengembangan kecerdasan spiritual pada anak usia 5-6 Tahun
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, dalam mengembangkan kecerdasan spiritual ini tidak semerta-merta anak dapat melakukan sendiri, hal ini membutuhkan waktu dan proses peniruan atau modeling serta metode yang tepat. Oleh karena itu lembaga pendidikan  RA Nurul Ikhlas menggunakan murottal bacaan Al-Quran sebagai metode dalam mengembangkan kecerdasan spiritual pada anak usia dini.
                                        


Tidak ada komentar:

Posting Komentar